Sabtu, 09 April 2011

Kisah Ummu Sulaim

Kisah ini adalah kisah Ummu Sulaim dan suami beliau Abu Thalhah. Kisah ini bermula ketika keluarga Ummu Sulaim mendapatkan ujian berupa musibah sakitnya putra Ummu Sulaim dan Abu Thalhah. Putra beliau yang sakit parah ketika itu ditinggalkan oleh sang ayah Abu Thalhah untuk menghadiri majelis ilmu bersama Rasulullah SAW. Ketika ditinggalkan ayahnya, kondisi putra Ummu Sulaim malah bertambah parah, bahkan hingga meninggal dunia malam hari itu. Namun Ummu Sulaim tetap tabah bahkan sangat sabar menghadapi meninggalnya putra beliau. Ketika Abu Thalhah pulang dari majelis ilmu bersama Rasulullah SAW, beliau bertanya kepada Ummu Sulaim “Ya Ummi, bagaimana keadaan putra kita?” dan Ummu Sulaim pun menjawab “Wahai Abi, tidak pernah aku melihat putra kita dalam keadaan setenang ini!”. Mendengar jawaban sang istri Abu Thalhah pun merasa sangat senang bahkan bahagia. Kemudian tidak lama setelah perbincangan itu, Ummu Sulaim pun berdandan menghias dirinya sendiri, sesuai dengan tuntunan Rasulullah bahwa seorang istri hanya diperbolehkan berdandan hanya untuk suaminya. Dan Ummu Sulaim pun kemudian mengajak Abu Thalhah untuk berjima’ atau melakukan hubungan suami istri. Ketika pasangan suami-istri tersebut melakukan jima’, Ummu Sulaim pun bertanya kepada Abu Thalhah “Wahai suamiku, aku ingin bertanya kepadamu..”. “silahkan istriku” jawab Abu Thalhah. “Apabila Engkau mendapatkan suatu titipan, dan kemudian pemiliknya meminta barang itu kembali, apakah Engkau akan mengembalikannya?” Tanya Ummu Sulaim. Abu Thalhah menjawab “Tentu saja, karena barang itu milik orang lain, bukan milikku”. “Dan tahukah Engkau wahai suamiku, anak kita adalah titipan dari ALLAH SWT? Dan sekarang anak kita telah diambil lagi oleh pemiliknya…”. Abu Thalhah pun bertanya “apa maksudmu wahai istriku?”. “Ya, anak kita telah meninggal dunia…” Ummu Sulaim pun menjawab. Mendengar jawaban itu, Abu Thalhah pun kemudian marah kepada Ummu Sulaim, Abu Thalhah marah kepada Ummu Sulaim karena beliau tidak langsung memberitahukan meninggalnya putra beliau kepada Abu Thalhah dan juga dalam keadaan tertimpa musibah seperti itu, Ummu Sulaim pun masih sempat mengajak suaminya untuk berhubungan suami-istri atau berjima’. Keesokan harinya, Abu Thalhah pun mendatangi kediaman Rasulullah SAW untuk mengadukan perbuatan istrinya kepada Rasulullah. Ketika sampai di depan kediaman Rasul, Rasulullah SAW langsung bertanya kepada Abu Thalhah “Wahai sahabatku, apakah tadi malam Engkau telah melakukan ‘Bulan Madu’ bersama istrimu, karena wajahmu terlihat begitu cerah?”. Abu Thalhahpun menjawab “Benar Rasulullah, namun bukan itu yang ingin hamba sampaikan kepada Engkau wahai Rasulullah…” dan kemudian Abu Thalhah menceritakan semua kejadian tadi malam kepada Rasulullah SAW. Mendengar cerita Abu Thalhah, Rasulullah SAW kemudian langsung mendoakan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah agar keduanya diberikan keturunan yang shaleh dan shalehah oleh ALLAH SWT. Beberapa waktu kemudian Ummu Sulaim pun hamil dan kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abu Thalhah yang kemudian dikenal menjadi seorang yang sangat alim dan shaleh. Setelah Abdullah bin Abu Thalhah menikah pun, beliau kemudian dikaruniai 10 orang anak oleh ALLAH SWT yang dikenal sebagai penghafal Al-Qur’an yang alim. Dari kisah Ummu Sulaim tersebut, mungkin itu adalah salah satu contoh hasil dari ketawwakkalan mahluk kepada ALLAH SWT yang kemudian dibalas oleh ALLAH SWT dengan sesuatu yang jauh lebih baik lebih dari yang kita harapkan.


"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". [Al Baqarah/2:155-157]

Jumat, 08 April 2011

Apa Salahnya Menangis?

sahabat hati...
Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat.
Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya.
Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.

Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya.
Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis).

Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis.
Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.

Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.

Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.

Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83).

Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.

Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)

Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).

Jadi apa salahnya menangis, sahabat hati?
:')

Bolehkah Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam???

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Bagi yang sudah berusia senja atau mungkin saja masih muda tapi sudah beruban, sangat ingin sekali merubah warna rambutnya yang telah memutih dengan warna hitam. Inilah tanda ketidaksabaran dari sebagian orang dengan warna rambutnya itu. Namun bagaimanakah tuntunan Islam dalam hal ini? Bolehkah mewarnai rambut dengan warna hitam? Tulisan ini sebenarnya telah kami bahas dalam posting yang sudah lama kami muat di web ini. Silakan lihat di link berikut. Jadi tulisan ini hanya kembali mengingatkan kembali akan tidak bolehnya menggunakan warna hitam ketika menyemir rambut. Perhatikan tulisan berikut yang di dalamnya terdapat penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia, Syaikh ‘Abdul Karim Khudair[1].
Bersabar dengan Uban
Kondisi beruban memang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Ada yang merasa gatal sehingga ingin mencabut uban tersebut dari kepalanya. Atau karena penampilan yang sudah terlihat tua, akhirnya ia pun ingin merubah uban dengan warna lain (terutama dengan warna hitam).
Padahal uban adalah cahaya seorang mukmin di hari kiamat. Perhatikan dalam hadits-hadits berikut.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة
Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.[2]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة
Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.[3]
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.”[4]
Sehingga kami nasehatkan di atas tadi, bersabar itu lebih utama. Jangan merasa gelisah atau risih dengan uban tersebut. Lihatlah balasan atau pahala yang Allah berikan kelak nanti. Cahaya di hari penuh kesulitan di hari kiamat, itu lebih utama dari gelisah dan tidak suka di dunia. Coba setiap yang beruban merenungkan hal ini. Namun hanya Allah lah yang beri taufik dan hidayah demi hidayah.
Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.”[5]
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.”[6] Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”
Bahan yang baik digunakan untuk menyemir uban tadi adalah inai dan pacar. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).”[7]
Soal-Jawab Syaikh ‘Abdul Karim Khudair
Beliau hafizhahullah ditanya, “ Apa hukum mewarnai rambut dengan warna hitam?”
Jawaban dari beliau,
Hadits yang membicarakan masalah ini menyatakan,
وَجَنِّبُوهُ السَّوَادَ
Jauhilah menggunakan warna hitam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat Abu Qohafah dengan rambutnya yang beruban (warna putih),  beliau bersabda,
غَيِّرُوهُ وَجَنِّبُوهُ السَّوَادَ
Ubahlah uban tersebut dan jauhi warna hitam.” Namun hadits ini dikatakan mudroj (ada tambahan dari perowi) yang tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, mewarnai rambut dengan hitam baik untuk laki-laki, perempuan, hukumnya haram. Termasuk pula bagi anak kecil atau orang dewasa, hukumnya sama, tetap haram.
Masih tersisa masalah, mengenai mengubah uban dengan warna selain hitam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dalam hadits, “Ubahlah”. Minimal perintah ini adalah sunnah dan ada sebagian ulama katakan hukumnya adalah wajib untuk merubah uban (dengan warna selain hitam). Dan sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sendiri merubah ubannya dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai). Adapun sahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengubah ubannya hinna’ (pacar) dan shorf.
Kita perhatikan sendiri bahwa kebanyakan orang yang berada di usia senja tidak mewarnai ubannya, karena dalam hal ini terasa sulit dan berat.
Intinya, melakukan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merubah uban (dengan warna selain hitam) sangat dituntut bagi seorang muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri katakan, “Ubahlah uban tersebut”. Para ulama katakan bahwa mewarnai uban (dengan selain hitam) di sini hukumnya sunnah, bukan wajib. Akan tetapi, jika kita katakan demikian bahwa itu sunnah dan ada perintah dalam hal ini, lantas mengapa kita tidak tunaikan saja perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada?”[8]
Inilah penjelasan dalam masalah menyemir rambut. Hal ini berlaku pula bagi yang tidak memiliki uban lantas ingin menyemirnya dengan warna hitam, sama saja tetap terlarang karena hadits yang membicarakan ini berlaku umum. Wallahu a’lam.
Jadi problema memang di sebagian salon atau tempat cukur rambut, di mana mereka melayani pelanggan yang ingin menyemir ubannya dengan warna hitam. Ini tentu saja masalah dan upahnya pun dari suatu usaha yang haram. Dalam hadits disebutkan,
وإن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه
Jika Allah mengharamkan sesuatu, Allah pun mengharamkan upahnya.[9] Berarti upah yang diperoleh dari menyemir uban dengan warna hitam adalah upah yang haram. So, ini berarti memakan harta orang dengan cara yang batil.

10 Nasehat Rasulullah Kepada Putrinya Fatimah Az-Zahro

Ada 10 Nasihat Rasulullah kepada putrinya, Fatimah Az-Zahra binti Rasulillah SAW. Sepuluh nasihat yang beliau sampaikan merupakan mutiara yang termahal nilainya, khususnya bagi setiap istri yang mendambakan keshalehan. Nasihat atau wasiat tersebut adalah :

1. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya kelak Allah tetapkan baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang diadonnya dan juga Allah akan melebur kejelekan serta meningkatkan derajatnya.

2. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak-anaknya, niscaya Allah akan menjadikan antara neraka dan dirinya tujuh tabir pemisah.

3. Wahai Fatimah! Sesungguhnya seorang yang meminyaki rambut anak-anaknya lalu menyisirnya dan kemudian mencuci pakaiannya maka Allah akan tetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang.

4. Wahai Fatimah! Sesungguhnya wanita yang membantu kebutuhan tetangganya, maka Allah akan membantunya untuk dapat minum telaga kautsar pada hari kiamat nanti.

5. Wahai Fatimah! Yang lebih utama dari seluruh keutamaan di atas adalah keridhaan suami terhadap istri. Andaikata suamimu tidak ridha kepadamu, maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah wahai Fatimah, kemarahan suami adalah kemurkaan Allah.

6. Wahai Fatimah! Di saat seorang wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Allah tetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketika seorang wanita merasa sakit akan melahirkan, maka Allah tetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang di jalan Allah. Di saat seorang wanita melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan dari kandungan ibunya. Di saat seorang wanita meninggal ketika melahirkan, maka tidak akan membawa dosa sedikitpun. Di dalam kubur akan mendapat taman indah yang merupakan bagian dari taman surga. Allah memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala sribu orang yang melaksanakn ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.

7. Wahai Fatimah! Di saat seorang istri melayani suaminya selama sehari semalam dengan rasa senang dan ikhlas, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan pakaian padanya pada hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Allah pun akan memberikan kepadanya pahala seratus kali ibadah haji dan umrah.

8. Wahai Fatimah! Di saat seorang istri tersenyum di hadapan suaminya maka Allah akan memandangnya dengan pandangan penuh kasih.

9. Wahai Fatimah! Disaat seorang istri membentangkan alas tidur untuk suaminya dengan rasa senang hati, maka para malaikat yang memanggil dari langit menyeru wanita itu agar menyaksikan pahala amalnya, dan Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

10. Wahai Fatimah! Disaat seorang wanita meminyaki kepala suami dan menyisirnya, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya, maka Allah akan memberi minuman arak yang dikemas indah kepadanya, yang didatangkan dari sungai-sungai surga. Allahpun akan mempermudah sakaratul maut baginya, serta menjadikan kuburnya bagian dari taman surga. Allahpun menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shiratal-mustaqim dengan selamat

ASAS DAN FORMAT PENDIDIKAN DALAM NEGARA ISLAM (KHILAFAH)



Kebijakan Pendidikan Daulah Khilafah Islamiyah
Kebijakan pendidikan Daulah Khilafah Islamiyah adalah sebagai berikut;
1.    Asas pendidikan formal adalah akidah Islam.  Seluruh mata pelajaran dan metode pengajaran harus berdasarkan akidah Islam.
2.    Kebijakan pendidikan adalah pembentukan sistem berpikir dan kejiwaan islami pada anak didik.
3.    Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian islami serta membekali anak didik dengan sejumlah ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan hidupnya.
4.    Dalam pendidikan, ilmu eksperimental beserta derivatnya harus dibedakan dengan pengetahuan yang berhubungan dengan tsaqâfah.  Ilmu-ilmu eksperimental diajarkan tanpa terikat dengan jenjang-jenjang pendidikan dan disajikan sesuai dengan kebutuhan. Adapun pengetahuan yang berhubungan dengan tsaqâfah diberikan pada jenjang pendidikan pertama sebelum jenjang pendidikan tinggi, berdasarkan kebijakan tertentu yang tidak bertentangan dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam.   Pada jenjang pendidikan tinggi, tsaqâfah diajarkan dalam bentuk pengetahuan, dengan syarat, tidak keluar dari kebijakan dan tujuan pendidikan Islam.
5.    Pendidikan tsaqâfah Islam harus disajikan di setiap jenjang pendidikan.  Adapun cabang-cabang tsaqâfah Islam beserta ragamnya disajikan pada jenjang pendidikan tinggi. Ilmu-ilmu kedokteran, teknik, dan lain sebagainya juga disajikan pada jenjang pendidikan tinggi.
6.    Ilmu sains dan teknologi yang terkategori dalam ilmu yang bebas nilai (free of value) boleh diambil tanpa ada persyaratan apapun. Yang berkaitan dengan tsaqâfah atau pandangan hidup tertentu tidak boleh diambil jika bertentangan dengan Islam, misalnya at-tashwîr (seni melukis, menggambar atau membuat patung makhluk yang bernyawa).
7.    Kurikulum pendidikan harus tunggal.  Tidak diperkenankan ada kurikulum lain selain kurikulum Negara.   Lembaga pendidikan swasta boleh berdiri selama kurikulum pendidikannya terikat dengan kurikulum Negara dan berdiri di atas asas kebijakan umum pendidikan Negara.
8.    Negara menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang agama, suku, dan ras.
9.    Negara bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya. (hlm. 9-12).
Tujuan Umum Pendidikan Negara Khilafah Islamiyah
Tujuan umum pendidikan dalam Khilafah Islamiyah adalah:
1.    Membina kepribadian islami dengan jalan menanamkan tsaqâfah Islam sebagai sistem keyakinan, pemikiran dan perilaku.
2.    Mempersiapkan generasi kaum Muslim yang memiliki keahlian dan spesialisasi di seluruh bidang kehidupan; kedokteran, biologi, kimia, fisika, dan lain sebagainya.
Metodologi Pengajaran
Metodologi pengajaran yang benar adalah penyampaian yang bersifat pemikiran (khithâb al-fikri) dari pengajar dan penyimakan yang bersifat pemikiran (talaqqi al-fikri) dari pelajar. Pemikiran adalah alat pendidikan dan pengajaran. (hlm.13).
Sarana utama untuk khithâb al-fikri dan talaqqi al-fikri adalah bahasa.  Tanpa bahasa atau pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan oleh pengajar, tentu tidak akan terjadi komunikasi antara pengajar dan pelajar, dan tidak ada pula transfer ilmu dan pengetahuan dari pengajar ke pelajar. Untuk itu, pengajar dan pembuat kurikulum pendidikan mesti menyederhanakan bahasa dan istilah dalam mata pelajarannya. Ini ditujukan agar siswa memahami apa yang disampaikan oleh pengajar.  (hlm.16).
Materi pelajaran bisa dibagi menjadi dua kategori:
1.    Pemikiran-pemikiran yang berkaitan secara langsung dengan pandangan hidup tertentu. Dalam konteks ini, pengajar harus selalu mengaitkan pelajaran dengan akidah Islam dan hukum-hukum Islam serta dengan kehidupan pelajar  di dunia dan akherat. Dengan begitu, pelajaran tersebut berpengaruh dan menyentuh lubuk hati pelajar, dan pelajar pun merasa puas dengan kebenaran pemikiran tersebut.
2.    Pelajaran yang tidak berkaitan dengan pandangan hidup tertentu (sains dan teknologi), misalnya kimia, fisika, dan lain sebagainya. Pelajaran semacam ini disajikan dengan tendensi agar pelajar bisa memanfaatkan alam semesta yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada mereka. (hlm. 17-18).
Cara dan Media/Sarana Pendidikan
Cara (uslûb) pendidikan adalah teknik  pengajaran yang digunakan oleh pengajar untuk mewujudkan tujuan belajar, yakni tercerapnya pelajaran secara maksimal oleh pelajar.  Hanya saja, teknik atau cara pengajaran ini bersifat tidak tetap alias fleksibel. Adapun media/sarana (wasilah) adalah sarana-prasarana pendidikan yang digunakan dalam proses belajar-mengajar semisal papan tulis, slide, proyektor, buku, alat peraga dan lain sebagainya. Pemilihan uslûb dan wasilah harus selalu berpijak pada tingkat efektivitas dan capaian maksimal yang dihasilkan. Jika ada uslûb dan wasilah yang lebih efektif dan efisien maka uslûb dan wasilah lama bisa ditinggalkan. (hlm. 18-23).
Jenjang Pendidikan Formal
A.  Pendidikan Dasar.
1.    Tujuan: (1) Pembentukan kepribadian islami. Dengan berakhirnya pendidikan dasar, anak didik harus sudah memiliki kepribadian yang sempurna. (2) Anak bisa berinteraksi dengan berbagai macam peralatan, inovasi-inovasi baru, dan majalah-majalah, sejalan dengan kebiasaannya; misalnya interaksi dengan peralatan listrik dan elektronika, alat pertanian, perindustrian, dan sebagainya. (3) Menyiapkan siswa untuk memasuki jenjang universitas dengan mengajari mereka pengetahuan-pengetahuan dasar yang berkaitan.
2.    Jenjang:    Jenjang pendidikan dasar dibagi menjadi dua: (1) pendidikan pra balig, yakni sebelum usia 10 tahun; (2) pendidikan umur 10 tahun hingga balig.
Jenjang pendidikan dasar dalam Daulah Khilafah didasarkan pada umur anak, bukan berdasarkan mata pelajaran yang disajikan di sekolah.  Atas dasar itu, sekolah dibagi menjadi tiga jenjang; (1) sekolah tingkat I (ibtidaiyah)/usia genap 7 tahun-hingga 10 tahun; (2) sekolah tingkat II (mutawasithah)/usia genap 10 tahun-14 tahun; (3) sekolah tingkat III (tsanawiyah)/usia genap 14 tahun hingga berakhirnya jenjang pendidikan dasar.
Adapun pendidikan sebelum usia 6 tahun diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk membuat lembaga pendidikan khusus bagi anak usia dini.
3.    Siklus akademik: Jenjang akademiknya (pendidikan dasar) terdiri dari 36 semester yang berkesinambungan. Masing-masing semester memakan waktu 83 hari. Jadwal siklus akademik selama 1 tahun adalah sebagai berikut: Semester I dimulai pada 1 Muharram-25 Rabiul Awwal (tanggal 25, 26, 27 Rabiul Awwal libur);  Semester II dimulai 28 Rabiul Awwal-22 Jumada ats-Tsani (tangga 22, 23, 24 Jumada ats-Tsani libur);  Semester III dimulai 25 Jumada ats-Tsani-20 Ramadhan (tanggal 20, 21, 22 Ramadhan libur);  Semester IV dimulai 23 Ramadhan-27 Dzulhijjah (istirahat tanggal 1-3 Syawal, Idul Adlha 8-15 Dzulhijjah.  Walhasil, 1 tahun terdiri dari empat semester. (hlm. 28-31).
4.    Mata pelajaran: Semua mata pelajaran harus berlandaskan akidah Islam. Mata pelajaran dibagi menjadi dua jenis: (1) mata pelajaran sains dan teknologi; (2) pengetahuan syariah. Pada tiga jenjang pendidikan dasar diberikan materi bahasa Arab, tsaqâfah Islam, sains, pengetahuan dan teknik (kimia, fisika, komputer, pertanian, industri, perdagangan, militer, dan lain sebagainya). (hlm. 31-41).
5.    Kesatuan pelajaran: Setiap materi pelajaran dibagi dalam kesatuan pelajaran. Setiap mata pelajaran mencakup bagian dari mata pelajaran tertentu yang memungkinkan untuk dipelajari selama 83 hari atau selama 1 semester. (hlm. 41-42).
6.    Sekolah-sekolah Negara dan sistem semester: Sekolah dibagi berdasarkan kelompok umur anak. Sekolah dasar untuk kelompok umur 6 hingga 10 tahun  menempuh pelajaran semester 1-12. Sekolah menengah untuk kelompok umur 10 tahun hingga 14 tahun. Mata pelajaran yang dipelajari mulai dari semester 13-24. Sekolah tingkat III untuk usia 14 hingga semester akhir, yakni mulai semester 25-36.
7.    Mata pelajaran dan jenjangnya: Setiap jenjang pendidikan disajikan mata pelajaran tertentu dan dilengkapi dengan aturan-aturan kelulusan. Mata pelajaran dibagi menjadi dua; (1) mata pelajaran pokok dan (2) skills (keterampilan). Setiap jenjang pendidikan menyajikan dua kategori pelajaran ini.
8.    Kelulusan: Pada dasarnya aturan kelulusan untuk setiap jenjang tidak sama.  Aturan kelulusan ini ditetapkan untuk menilai apakah seorang siswa layak mengikuti pelajaran pada jenjang berikutnya. (Ketentuannya dapat dilihat pada hlm. 50-52).
9.    Ujian umum untuk setiap jenjang pendidikan: Ujian umum diselenggarakan 2 kali setiap tahun.  Ujian pertama diselenggarakan setiap bulan Jumada al-Ula setiap tahunnya.  Ujian umum kedua diselenggarakan pada bulan Syawal.
10.  Jam pelajaran: Jam pelajaran di sekolah diatur sedemikian rupa dengan hirarki tertentu. Satu jam pelajaran berdurasi 40 menit.  Setiap pergantian mata pelajaran dijeda 5 menit untuk istirahat. Waktu istirahat  berdurasi 15 menit. (hlm. 53).
11.  Kalender akademik: Daulah Khilafah menetapkan penanggalan Hijrah sebagai penanggalan akademiknya dan memperhatikan jenjang pendidikan. (hlm. 55-56).
B.  Pendidikan Tinggi.
Tujuan pendidikan tinggi adalah untuk: (1) Memperdalam dan mengkristalkan kepribadian islami pada siswa pendidikan tinggi. (2) Melahirkan para ahli dan spesialis di semua bidang kehidupan untuk mewujudkan kemashlahatan rakyat. (3) Mempersiapkan tenaga ahli yang diperlukan untuk mengatur urusan masyarakat, misalnya qâdhi, ahli fikih, saintis, insinyur, dan lain sebagainya.
Pendidikan perguruan tinggi, secara umum dibagi menjadi dua macam pendidikan, pendidikan kesarjanaan (S1 dan diploma) dan spesialis (S2 dan S3).  (hlm. 59-60).
Lembaga pendidikan tinggi terdiri dari akademi, akademi kepegawaian, universitas, pusat pengkajian dan pengembangan, dan akademi militer.  Masing-masing lembaga pendidikan ini memiliki orientasi dan stressing yang berbeda-beda. Ijazah diberikan berdasarkan strata yang ditempuh oleh anak didik mulai dari ijazah diploma, sarjana strata 1 (sarjana), magister (S2), hingga doctoral (S3).

10 Bahan Alami Penghilang Bekas Luka

10 Bahan Alami Penghilang Bekas Luka - Koloid alias bekas luka sulit hilang? Paling geram kalau ada di wajah. Tentu banyak yang menginginkan bekas luka cepat. Nah, ada cara alami dan aman mengatasinya. Ayo intip!


1) Mentimun
Untuk mengurangi bekas luka dengan mentimun, hancurkan mentimun hingga membentuk pasta. Setelah itu, letakkan pada bekas luka dan diamkan sepanjang malam. Lakukan ini selama beberapa malam, dan Anda akan melihat bekas luka sedikit demi sedikit menghilang.


2) Minyak Pangkal Biji Bunga Mawar
Minyak ini digunakan dalam berbagai kosmetik dan telah terbukti menunjukkan hasil bagus, terutama menghilangkan bekas luka akibat jerawat. Untuk menggunakan pengobatan alami ini, Anda perlu melakukan pemiijatan dengan menggunakan minyak biji pangkal bunga mawar pada bekas luka di kulit dua kali sehari selama 15 menit.


3) Gooseberry India
Perawatan bekas luka alami ini juga dikenal sebagai amalaki. Tidak hanya membantu memperlembut bekas luka, tapi juga efektif menghalangi munculnya bekas luka di kemudian hari.


4) Jus Lemon
Jus lemon bertindak seperti pemutih alami, sehingga cukup efektif dalam mengobati luka. Namun, jangan berlebihan, karena asam sitrat yang terkandung dalam jus lemon sebenarnya dapat menyebabkan kerusakan pada kulit Anda jika digunakan dalam jangka panjang.


5) Vitamin C
Vitamin ini membantu dalam proses pembekuan darah yang sangat diperlukan untuk penyembuhan luka. Cobalah untuk menemukan perawatan bekas luka alami ini dalam bentuk krim karena krim yang mengandung vitamin C merupakan cara yang paling efektif. Selain itu, makan makanan yang kaya akan vitamin C juga bermanfaat.


6) Tea Tree Oil
Anda dapat mencoba menggosok minyak pohon teh ke bekas luka dan ulangi ini beberapa kali per hari. Beberapa orang mengklaim bahwa bekas luka Anda dapat hilang dalam beberapa hari!


7) Madu
Madu merupakan salah satu bahan yang efektif untuk menghilangkan bekas luka. Anda dapat menggunakan madu dengan cara mengoleskan madu ke bekas luka dan diamkan semalaman. Untuk hasil maksimal, lakukan cara ini berulang-berulang.


8. Teh Hijau
Yang perlu Anda lakukan di sini adalah celupkan kapas ke dalam teh hijau, dan kemudian pijat bekas luka Anda dengan itu.


9) Bawang putih
Bahan ini sangat mudah ditemukan di rumah dan merupakan bahan yang sangat efektif digunakan untuk pencegahan munculnya bekas luka. Anda hanya perlu memotong setengah siung bawang putih, kemudian menggosokkannya pada luka/jerawat untuk mencegah munculnya bekas di kemudian hari.


10) Minyak Zaitun
Pijatlah bekas luka Anda dengan minyak zaitun beberapa kali sehari. Maka dapat dipastikan bahwa bekas luka tersebut akan lenyap dalam beberapa hari.

Perlu juga diketahui, ada beberapa cara yang tidak dapat bekerja dengan baik. Sejumlah sumber menyatakan mederma, jenis bawang ekstrak, bekerja seperti mukjizat menghilangkan bekas luka. Namun, tidak ada satu pun penelitian ilmiah yang dapat membuktikan keakuratan cara alami untuk menyembuhkan bekas luka ini.

Banyak juga klaim yang mengatakan bahwa vitamin E merupakan salah satu alternatif penyembuhan bekas luka. Beberapa sumber menganjurkan untuk mengambil sebuah kapsul vitamin E dan mengoleskannya pada bekas luka. Kenyataannya, akibat terburuk yang mungkin muncul adalah dapat menyebabkan dermatitis pada beberapa orang!
Nah, sebab itu pilihlah cara yang menurut Anda terbaik untuk menghilangkan bekas luka. Good luck!

Kamis, 07 April 2011

Istiqamah Dalam Mengemban Dakwah


PENTINGNYA TETAP ISTIQAMAH DAN TAQARRUB KEPADA ALLAH SWT
Pada akhir2 ini, umat Islam sedang diuji kesabarannya menghadapi fitnah akibat isu terorisme yang akhir-akhir ini sengaja dimunculkan kembali, diekspos terus-menerus dan dikaitkan dengan Islam dan kaum Muslim. Ujian ini terutama menimpa para pengemban dakwah, baik individu maupun lembaga dakwah (pesantren).
Menghadapi ujian ini seyogyanya setiap Muslim dituntut untuk tetap istiqamah di dalam ketaatannya kepada Allah SWT, tidak menyimpang sedikit pun dari jalan-Nya, dan malah harus semakin mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Sebab, istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT dan taqarrub kepada-Nya akan menjadi pintu baginya untuk meraih sukses di dunia dan akhirat.
Pentingnya Istiqamah
Sejak Baginda Nabi saw. memulai dakwah secara terang-terangan di Makkah, orang-orang kafir mulai memutar otak untuk mencari cara—dari mulai yang paling halus hingga yang paling kasar dan kejam—untuk menggagalkan dakwah Nabi saw. Mula-mula mereka melontarkan isu bahwa Muhammad saw. adalah orang gila. Lalu beliau juga dituduh sebagai penyihir yang bisa memecah-belah bangsa Arab. Tujuannya, agar orang-orang Arab tidak mendekati, apalagi mendengarkan kata-kata Muhammad. Itulah ujian yang pertama dan paling ringan yang dialami Baginda Rasulullah saw.
Tatkala Quraisy melihat bahwa Muhammad tidak berpaling sedikitpun dari jalan dakwah, mereka lalu berpikir keras untuk membenamkan dakwah Muhammad saw. dengan berbagai cara yang lebih keras. Secara ringkas ada empat cara yang mereka lakukan: mengolok-olok, mendustakan dan melecehkan Rasul; membangkitkan keragu-raguan terhadap ajaran Rasul dan melancarkan propaganda dusta; menentang al-Quran dan mendorong manusia untuk menyibukkan diri menentang al-Quran; menyodorkan beberapa bentuk penawaran agar Rasul mau berkompromi, yang tujuan akhirnya adalah menyimpangkan bahkan menghentikan dakwah beliau (Syaikh Shafiy ar-Rahman al-Mubarakfuri, ar-Rahîq al-Makhtûm).
Akan tetapi, semua cara ini pun gagal. Namun, kaum Kafir tidak mengendorkan kesungguhan untuk memerangi Islam serta menyiksa Rasul-Nya dan orang-orang yang masuk Islam. Fitnah dan ujian juga dilakukan terhadap Baginda Nabi saw. oleh Abu Lahab dan istrinya, Abu Jahal dan istrinya, Uqbah bin Abi Mu’ith, Adi bin Hamra‘ ats-Tsaqafi dan Ibn al-Ahda‘ al-Huzali. Salah seorang dari mereka pernah melempar Nabi saw. dengan isi perut domba yang baru disembelih saat beliau sedang shalat. Uqbah bin Abi Mu’ith bahkan pernah meludahi wajah Nabi saw. Utaibah bin Abi Lahab pernah menyerang Nabi saw. Uqbah bin Abi Mu’ith pernah menginjak pundak beliau yang mulia. Semua itu dialami Baginda Rasulullah saw., betapapun mulianya kedudukan dan kepribadian beliau di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, wajar jika para Sahabat beliau, apalagi orang-orang lemah di antara mereka, juga mendapat banyak gangguan atau siksaan, yang tak kalah kejam dan mengerikan. Paman Utsman bin Affan, misalnya, pernah diselubungi tikar dari daun kurma dan diasapi dari bawahnya. Ketika Ibu Mushab bin Umair mengetahui bahwa anaknya masuk Islam, ia tidak memberi makan anaknya dan mengusirnya dari rumah—padahal ia sebelumnya termasuk orang yang paling enak hidupnya—sampai kulit Mushab mengelupas. Bilal bin Rabbah juga pernah disiksa secara kejam oleh Umayah bin Khalaf al-Jamhi. Lehernya diikat, lalu ia diserahkan kepada anak-anak untuk dibawa berkeliling mengelilingi sebuah bukit di Makkah. Bilal juga dipaksa untuk duduk di bawah terik matahari dalam kelaparan, kemudian sebuah batu besar di diletakkan dadanya.
Hal yang sama menimpa keluarga Yasir ra, bahkan lebih tragis. Abu Jahal menyeret mereka ke tengah padang pasir yang panas membara dan menyiksa mereka dengan kejam. Yasir ra. meninggal dunia ketika disiksa. Istrinya, Sumayyah (ibu ’Ammar), juga menjadi syahidah setelah Abu Jahal menancapkan tombak di duburnya. Siksaan terhadap Ammar bin Yasir juga semakin keras. (Ibn Hisyam, Sîrah Ibn Hisyam, 1/319; Muhammad al-Ghazaliy, Fiqh as-Sîrah hlm. 82.
Meski mengalami semua makar dan kekejaman yang dilakukan orang-orang Kafir, Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau tetap berpegang teguh pada Islam, tetap bersabar dan tetap istiqamah di jalan dakwah hanya karena satu alasan: mengharap ridha Allah SWT.
Karena itu, jika hari ini para pengemban dakwah, khususnya di Tanah Air, sedang diuji dengan fitnah terorisme—dituduh mengancam negara, diawasi bahkan diperangi atas nama perang melawan terorisme—maka hal itu sebenarnya barulah mengalami hal yang paling ringan dari apa yang pernah dialami Baginda Nabi saw. saat pertama kali. Artinya, jika pun ujian dakwah yang mereka alami jauh lebih sadis dari sekadar fitnah/tuduhan palsu, maka tak usah khawatir. Sebab, Nabi saw. dan para Sahabat pun—yang notabene para wali Allah sekaligus kekasih-Nya—pernah mengalaminya.
Karena itu, istiqamah di jalan dakwah adalah hal yang sebetulnya wajar-wajar saja bagi para pendakwah. Bahkan hanya dengan tetap istiqamahlah segala permusuhan orang-orang kafir terhadap para pengemban dakwah—yang notabene adalah para wali (kekasih) Allah—akan bisa dikalahkan. Sebab, Allah SWT telah berfirman di dalam sebuah hadis qudsi, bahwa Dia sendirilah yang akan memerangi orang-orang yang memerangi para wali (kekasih)-Nya:
"Siapa saja yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka Aku memaklumkan perang terhadapnya (HR al-Bukhari).
Jika Allah SWT telah memaklumkan perang, maka siapapun yang menjadi sasarannya pasti akan dikalahkan. Lebih dari itu, jika kaum Muslim dan para pengemban dakwah tetap istiqamah di jalan-Nya, maka segala makar orang-orang kafir dan antek-anteknya juga pasti gagal, dan kemenangan dakwah pasti dapat segera terwujud. Sebab, makar orang-orang kafir dan para pendukung kekufuran terhadap kaum Muslim pasti akan dibalas oleh Allah sendiri. Allah SWT berfirman:
Orang-orang kafir itu membuat makar/tipudaya dan Allah membalas makar/tipudaya mereka itu. Allah adalah sebaik-baik Pembalas tipudaya (QS Ali Imran [3]: 54).

Metode islam untuk mendapat sifat istiqamah di dalam islam dan dakwah adalah sbb:
Pertama: mengidentifikasikan pemikiran yang mendalam dan pemikiran rusak yang diwariskan dari masa kemunduran. Hal ini, akan menjaga akal dengan pemikiran islam, baik  pemikiran yang berhubungan dngan akidah ataupun syariat. Setelah melakukan identifikasi, kemudian berupaya mengubah pemikiran tersebut menjadi mafahim bagi diriya, dengan jalan meyakininya, memahami fakta-faktanya di dalam otak dengan dengan pemahaman yang cemerlang, jernih dan jelas berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Kedua: memecahkan persoalan perasaan instinkif yang bersifat primordial (fitri) dengan melandaskannya pada ideology islam, artinya perasaan yang terbentuk melalui jalan ‘aqliyah islamiyah. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak beriman diantara kalian sampai kalian menjadikan hawa nafsu kalian tunduk (mengikuti) apa saja yang q bawa”. 
Mengganti perasaan cinta kekuasaan dunia dengan perasaan cinta terhadap islam; mengganti perasaan takut hanya kepada Allah; menggantikan perasaan tamak atas dunia menjadi perasaan dekat kepada Allah; beristiqamah dalam agama Allah dan dakwah; dan senantiasa menegakkan sabda Rasulullah SAW:
“Mati dalam ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup didalam lumpur kemaksiatan”.
Pentingnya Taqarrub ilâ Allâh
Selain tetap istiqamah, setiap Muslim, khususnya para pengemban dakwah, seyogyanya terus berupaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat; menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti Aku beri. Jika ia meminta perlindungan-Ku, pasti Aku lindungi (HR al-Bukhari).
Dari hadis di atas, jelaslah bahwa secara tersurat, kunci bagi setiap Muslim, khususnya para pengemban dakwah, agar senantiasa permohonannya dikabulkan, juga agar senantiasa mendapatkan perlindungan Allah SWT, adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
Hanya saja, pengertian taqarrub ini tidak boleh dipersempit hanya dalam tataran ritual atau spiritual semata; apalagi sekadar menjalankan yang sunnah-sunnah saja, sementara banyak kewajiban lainnya yang ditinggalkan. Sebab, makna syar’i dari taqarrub ilâ Allâh adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah Allah tetapkan (Fath al-Bâri, XXI/132; Syarh Muslim, IX/35; Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa`, 1/499; Syarh al-Bukhâri li Ibn Bathal, XX/72). Bahkan taqarrub dengan menjalankan seluruh kewajiban adalah lebih Allah sukai, apalagi jika ditambah dengan terus-menerus menjalankan hal-hal yang sunnah.
Di antara kewajiban—sebagai bagian dari taqarrub yang lebih Allah sukai itu—adalah berdakwah sekaligus berjuang untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT di muka bumi. Para ulama bahkan menegaskan bahwa taqarrub ilâ Allâh mencakup menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dengan melaksanakan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Imam Ibnu Taimiyah berkata, "Wajib menjadikan kepemimpinan [imârah] sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan dengan jalan menaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama [min afdhal al-qurubât]." (Majmû’ al-Fatawa, VI/410),
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali juga menerangkan, "Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ilâ Allâh adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada istri dan anaknya." (Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/11).
Berdasarkan hadis-hadis di atas, aktivitas menerapkan syariah secara adil yang dilakukan oleh Khalifah adalah bagian dari taqarrub ilâ Allâh. Bahkan seperti kata Ibnu Taimiyah di atas, menjalankan pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilâ Allâh yang paling utama.
Pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan, sebab hanya dengan pemerintahan Islam sajalah umat Islam akan dapat menerapkan hukum-hukum syariah Islam secara kâffah (menyeluruh). Sistem pidana Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam dan sistem-sistem Islam yang lain tidak mungkin diterapkan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil, eksistensi Khilafah sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub ilâ Allâh akan bisa terlaksana sempurna. Khilafah adalah kunci taqarrub ilâ Allâh secara kâffah.
Karena itu, memperjuangkan kembali tegakknya Khilafah jelas sengat penting dilakukan oleh umat Islam, khususnya para pengemban dakwah, sebagai bagian dari taqarrub kepada Allah SWT. Lebih dari itu, saat seorang Muslim ber-taqarrub kepada Allah maka dia pasti akan dicintai Allah. Orang yang dicintai Allah akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhaan dan rahmat Allah; limpahan rezeki-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya. (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-’Ulm wa al-Hikâm, XXXVIII/10-12; Syarah Muslim, X/35).
Walhasil, mulai sekarang marilah kita semua ber-taqarrub kepada Allah SWT dengan makna yang seluas-luasnya, sebagaimana terpapar di atas. Dengan semua itu, mudah-mudahan Allah SWT segara memberikan pertolongan-Nya kepada kita demi terwujudnya ‘Izzul al-Islâm wa al-Muslimîn. Amin.[]
By : H4RM4